Pembantaian Rohingya Bohong?
Direktur Human Right Southeast Asia Phil Robertsen meneliti dan menginvestigasi pembantaian etnis Rohingya di Myanmar. Termasuk soal foto-foto pembantaian etnis Rohingya oleh etnis Rakhine, yang menyebar di internet. Dia menilai foto itu palsu.
Menurutnya, dari hasil investigasi, foto-foto pembunuhan yang diterima seluruh media, setelah melewati proses klarifikasi, hal itu tak bisa dipertanggungjawabkan. Artinya, kata dia, foto-foto tersebut bohong.
“Ada foto saat biksu berdiri di tengah mayat pembantaian, foto-foto itu bohong, anehnya foto-foto itu dikirim dari website asal Indonesia,” tuturnya dalam diskusi di Perpustakaan Universitas Indonesia (UI), Jumat (10/08/12).
Hal itu, kata dia, menimbulkan reaksi luar biasa dari kelompok radikal terkait dengan tersebarnya foto tersebut di internet. Hal itu tak dapat terkontrol dan memberikan opini kepada publik.
“Hasil investigasi, ini sekedar klarifikasi, karena posisi Rohingya sudah sejak dulu hidup berdampingan dengan kelompok Arakan, dan memang sering konflik,” jelasnya.
Memang, lanjutnya, Pemerintah Myanmar sejak dulu tidak menghargai dan mengakui keberadaan etnis Rohingya. Diskriminasi tersebut selalu dilakukan dengan memaksa tenaga kerja yang berasal dari Rohingya.
“Tenaga kerjanya didiskriminasi, kondisinya betul-betul memprihatinkan, secara konstitusi juga tak dilindungi, untuk menikah harus izin Negara, untuk gelar acara harus izin Negara, untuk punya anak juga,” paparnya.
Namun, Pemerintah Myanmar selalu berdalih bahwa mereka mendiskriminasi etnis Rohingya. Mereka membantah melakukan tindakan semena-mena terhadap Rohingya.
“Selalu denial, menyangkal, selalu berdalih telah memberikan perlindungan, Komnas HAM di Myanmar juga perlu dikuatkan posisinya,” lanjutnya.
Ia pun menyesalkan dengan sikap Aung San Suu Kyi yang tak bersikap apa-apa. Ia hanya menyarankan agar pemerintah meningkatkan penegakan hukum (law enforcement).
“Kalau mau maju jadi presiden, Suu Kyi kehilangan momentum atas kasus etnis Rohingya ini,” tutupnya
Menurutnya, dari hasil investigasi, foto-foto pembunuhan yang diterima seluruh media, setelah melewati proses klarifikasi, hal itu tak bisa dipertanggungjawabkan. Artinya, kata dia, foto-foto tersebut bohong.
“Ada foto saat biksu berdiri di tengah mayat pembantaian, foto-foto itu bohong, anehnya foto-foto itu dikirim dari website asal Indonesia,” tuturnya dalam diskusi di Perpustakaan Universitas Indonesia (UI), Jumat (10/08/12).
Hal itu, kata dia, menimbulkan reaksi luar biasa dari kelompok radikal terkait dengan tersebarnya foto tersebut di internet. Hal itu tak dapat terkontrol dan memberikan opini kepada publik.
“Hasil investigasi, ini sekedar klarifikasi, karena posisi Rohingya sudah sejak dulu hidup berdampingan dengan kelompok Arakan, dan memang sering konflik,” jelasnya.
Memang, lanjutnya, Pemerintah Myanmar sejak dulu tidak menghargai dan mengakui keberadaan etnis Rohingya. Diskriminasi tersebut selalu dilakukan dengan memaksa tenaga kerja yang berasal dari Rohingya.
“Tenaga kerjanya didiskriminasi, kondisinya betul-betul memprihatinkan, secara konstitusi juga tak dilindungi, untuk menikah harus izin Negara, untuk gelar acara harus izin Negara, untuk punya anak juga,” paparnya.
Namun, Pemerintah Myanmar selalu berdalih bahwa mereka mendiskriminasi etnis Rohingya. Mereka membantah melakukan tindakan semena-mena terhadap Rohingya.
“Selalu denial, menyangkal, selalu berdalih telah memberikan perlindungan, Komnas HAM di Myanmar juga perlu dikuatkan posisinya,” lanjutnya.
Ia pun menyesalkan dengan sikap Aung San Suu Kyi yang tak bersikap apa-apa. Ia hanya menyarankan agar pemerintah meningkatkan penegakan hukum (law enforcement).
“Kalau mau maju jadi presiden, Suu Kyi kehilangan momentum atas kasus etnis Rohingya ini,” tutupnya